ما حرم إستعماله حرم إتخاذه
“Sesuatu yang dilarang
memanfaatkannya, maka dilarang pula memilikinya”.
Penjelasan Kaidah
Kaidah ini diawali dengan huruf “ ما”
yang merupakan ism mausul. Menunjukkan bahwa hal yang disifati tergolong
pada sesuatu yang umum (nakirah mausuf). Biasanya digunakan untuk hal-hal yang
bersifat kebendaan atau yang bukan manusia ( li ghair al-‘aqil), meskipun
terkadang digunakan untuk manusia (li al-‘aqil). Dalam hal ini, maka
objek hukum kaidah yang dimaksud adalah ditujukan pada benda apa saja.
Kata “ إستعماله”
adalah fail dari fi’l madi mazid dengan tiga huruf, dari kata عمل
(mengerjakan). Setelah ditambahkan ا- س- ت maka artinya
mempekerjakan, memanfaatkan atau menggunakan.
Adapun kata “ إتخاذه”
adalah fail dari fiil mazid dengan dua huruf, dari kata أخذ (mengambil). Setelah penambahan ا – ت maka menjadi
إإتخذ
yang kemudian menggabungkan (idgham) dua hamzah tersebut dan menggantikannya (
ibdal) dengan “ت” lalu dibaca إتخذ (mengambil dengan usaha). Dalam hal ini, kata إتخاذه berarti usaha
untuk memperoleh sesuatu untuk dimiliki.
Prof. H.A. Djazuli mengartikan kaidah ini sebagai
berikut : “ Apa yang haram digunakannya, haram pula didapatkannya”. Maksudnya adalah apa yang haram digunakannya,
baik dimakan, diminum, atau dipakainya, maka haram pula mendapatkannya.
Jika kita cermati dari pemaparan maksud yang telah
dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa setiap yang haram digunakan, maka
usaha untuk memperolehnya juga diharamkan. Ini konklusi logis dari keharaman
sesuatu yang masih paralel hukumnya. Sebab, jika pengharaman hanya dilakukan
sepihak, sementara pihak lain yang masih terkait dibolehkan begitu saja, maka
tidak ada efek hukum yang dihasilkan dari pelarangan tersebut. Dan ini termasuk
kategori sadd al-zarai’.
As-suyuti menyebutkan beberapa contoh dalam kaidah ini
;
Pertama: Haram hukumnya memiliki alat – alat yang
melalaikan. Hal ini dikarenakan keharaman menggunakan alat tersebut baik yang
berbentuk musik ataupun permainan. Semua
mazhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) sepakat untuk
mengharamkannya.
Kedua : Haram hukumnya memiliki bejana yang terbuat
dari emas dan perak. Hal ini dikarenakan keharaman menggunakannya baik untuk
wadah makanan atau hiasan. Rasulullah saw bersabda: “ Janganlah kamu meminum
dengan menggunakan bejana yang terbuat dari emas atau perak, dan jangan makan
dengan piring yang terbuat dari keduanya, karena keduanya itu untuk orang-orang
musyrik semasa mereka di dunia, dan untuk kamu nantinya di akhirat”.
Ketiga : Haram hukumnya memelihara anjing yang bukan
digunakan untuk berburu. Atau memelihara babi. Hal ini diharamkan karena
binatang-binatang tersebut dilarang untuk dimakan.
Keempat : Haram hukumnya untuk semua orang terlibat
dalam urusan khamar. Karena dikhawatirkan akan meminumnya hingga jatuh pada
perbuatan haram. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan Turmudzi disebutkan bahwa
ada sepuluh orang yang dikutuk pada persoalan khamar ini, yaitu ; produsen,
distributor, peminum, pembawa, pengirim, penuang, penjual, pemakan harga
hasilnya, pembeli dan pemesan.
Kelima: Haram hukumnya menyimpan perhiasan (emas) bagi
laki-laki, begitu juga dengan sutra. Karena tidak boleh bagi laki-laki
mengenakan keduanya berdasarkan nas-nas hadis.
Dari beberapa contoh yang telah dikemukakan di atas
bisa dipahami bahwa suatu hukum bersifat paralel dengan sebab yang sebelumnya
karena mengarah pada akibat yang akan muncul sesudahnya. Jika sebuah akhir
adalah haram, tentu mengharamkan permulaannya adalah langkah yang lebih tepat
sebagai bentuk pencegahan dini.
Oleh karena itulah, setiap benda yang haram digunakan
maka apapun cara memperolehnya, meski tergolong
pada cara yang halal maka tetap dihukumkan haram. Dan sebagai
konsekwensi logis, jika memperolehnya saja haram maka seluruh aktifitas yang
berbentuk pemanfaatannya, baik itu disimpan, dimakan atau diminum – kalau
berupa makanan dan minumuan- semuanya juga haram.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer