Keakraban dengannya bisa dikatakan belum lama. Baru setahun
ini kami bisa saling kenal dan lebih tahu satu sama lain. Padahal, sebenarnya
kami sudah jumpa sejak dulu masa di MTs dan Aliyah. Kalau dihitung lebih dari sepuluh
tahun yang lalu. Tapi ya, begitulah. Pertemuan kami dulu hanya sebatas teman
sekolah yang berpapasan hanya sekedar
tahu kalau dia adalah Hasanul anak seorang ulama besar di kota Medan.
Waktu itu, dua bulan sebelum kepulanganku ke tanah air,
dalam dunia maya ada yang menyapa dalam friendster milikku. Namanya Khalid, dan
dia bercerita banyak tentang diri dan keluarganya. Dari situ aku kenal, bahwa
abangnya adalah teman sekolahku dulu. Hingga saat aku kembali ke tanah air,
kami ada kesempatan bertemu, dan kamipun bertemu di rumahnya.
Teringat, hari itu saat aku bertemu dengan Abi (sebutan
untuk ayahnya, yang sudah kuanggap sebagai orangtuaku sendiri)dan membicarakan
tentang perkembangan umat islam di kota Medan. Sebagai kapasitasnya ketua
komisi fatwa MUI kota medan, juga alumnus Universitas Al Azhar-Kairo, beliau
bercerita banyak tentang bagaimana peta perpolitikkan ketika itu. Kebetulan
salah satu calon walikota saat itu adalah dari non muslim. Dan dilihat
potensinya yang cukup besar mengalahkan calon dari muslim. Maka sampailah
kesimpulan, kalau kami perlu merapatkan barisan agar tetap terpilih pemimpin
seakidah.
Lepas diskusi dengan Abi, aku dan hasanul ngobrol tentang
pernikahan. Ya, obrolan yang sangat menarik bagi bujangan. Apalagi dia telah
berazam untuk menikah. Kulihat ketika itu tumpukan buku yang ada di mejanya,
semua bertemakan tentang pernikahan. Mulai dari rumah tangga islami, sampai
pernikahan A-Z. Pikirku, dari segi teori kayaknya dia sudah faham benar tentang
pernikahan dan seluk beluknya. Namun, satu hal yang belum difahaminya ternyata apa yang ada dalam
buku, masih perlu penyesuaian pada masing-masing individu. Dan cara yang paling
tepat adalah dengan melangsungkan akad nikah tersebut. Dengan kata lain,
learning by doing adalah metode paling
baik dalam menghayati sebuah permasalahan.
Kita juga berdiskusi, bagaimana memahami sosok makhluk yang
bernama wanita. Karena dalam rumah tangga nanti, seorang wanita ketika telah
menjadi istri, maka kehidupannya benar-benar kompleks. Satu sisi dia adalah
sosok yang harus difahami namun disisi lain kita juga butuh untuk difahami. Di
sinilah penting untuk menyeimbangkan ego yang ada. Bagaimana laki-laki sebagai
qawwam (pemimpin)menjalankan perannya sebagai orang yang lebih faham terhadap
orang yang dipimpinnya.
Mengarungi bahtera rumah tangga, ibarat mengemudikan kapal
pesiar di tengah samudera . Kapanpun rintangan akan selalu menghadang, ombak
yang kuat dan angin yang kencang sering membuat kapal kita oleng. Belum lagi
kalau bahan bakar yang digunakan habis atau kondisi dalam kapal ada yang rusak.
inilah tantangan dalam mengarungi sebuah samudera. Bagaimana seorang nahkoda
bisa membawa kapal itu bisa sampai pada pulau yang dituju.
Begitu halnya juga pada kehidupan rumah tangga. Gannguan dari dalam dan luar akan selalu
menghiasi jalannya kehidupan rumah tangga seseorang. Di sini dibutuhkan sikap qawwam bagi
laki-laki sebagai nahkoda. Maka jadilah kepala rumah tangga seperti rasulullah
dulu. Niscaya akan muncul istilah baiti jannati, rumahku adalah surgaku.
***
Selamat menempuh hidup baru wahai saudaraku. Barakallahu
Lakuma wa Baraka alaikuma wa jama’a bainakuma fi khairin.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer