Ta’yin, mungkin istilah ini mirip sidang meja hijaunya jenjang strata
satu di sini. Biasanya kalau kuliah di indonesia, sebagai tugas akhir
tahun mahasiswa, ada buat semacam karya tulis yang disebut skripsi. Dan skripsi
ini merupakan laporan hasil kerja yang pernah dilakukan, untuk mengamati dan
menganalisa sebuah masalah kemudian mencari solusinya. Semua ini dikemas dalam
tulisan, kemudian dibukukan lalu disidangkan dihadapan beberapa dosen penguji
untuk dipertanggungjawabkan atas kebenaran tulisan tersebut.
Di Azhar, khususnya buat strata
satu, yang wajib itu cuma dua. Pertama, harus hadir ijroat buat karneh dan
bayar rusum. Kedua, ujian tahriri (tulisan ) dan syafahi (lisan).
Selebihnya sunnah, kayak muhadharah (hadir kelas) dan buat bahas (paper/makalah). Jadi walaupun sudah tercatat
sebagai mahasiswa, mau masuk kelas dengar ceramah dosen atau tidak, terserah.
Terus kalau ada tugas bahas, mau ngumpulin bagus, tidak ngumpul juga nggak
apa-apa. Sampe-sampe bagi sebagian wafidin yang negaranya bertetanggan dengan Mesir,
mereka baru ada di mesir sewaktu ujian aja. Asal diktat udah ditangan, mereka
cukup menguasainya, terus ujian. Kalau bagus jawabannya, berarti najah
(lulus). Kalau tidak, ya rasib (gagal).
Setiap tahun kan ada dua ujian, tahriri dan syafahi.
Nah, khusus tahun empat, karena dianggap ini tahun akhir, maka ada dua maddah
(mata kuliah ) yang disyafahikan, tapi istilahnya ta’yin. Jadi, dosen nyuruh
baca dari halaman sekian sampai sekian, kemudian sewaktu ujian baru disuruh
jelaskan apa yang kita baca. Dan ta’yin ini biasanya diambil dari
buku-buku turost, karya ulama klasik dulu.
Tidak banyak sih, paling cuma tiga
lembar. Tapi, ya itu tadi, karena buku itu di tulis dengan gaya bahasa arab tempo dulu jadi lebih
memeras otak bacanya. Belum lagi gaya
tulisannya yang sayarat mantiqi, banyak dhamir (kata ganti).
Singkat tapi padat. Itulah yang bikin waswas, kalau-kalau dosen pengujinya syadid
alias killer, bisa-bisa ditanya sedetail mungkin. Mulai dari nama
pengarang, I’rab matan, nama pensyarah dan perbedaan ulama
terhadap masalah yang ada.
Entah kenapa, hari itu benar-benar
gerogi. Padahal persiapanku lumayan matang. Tapi khawatir aja, ta’yin yang
diujikan nggak terjawab. Satu jam udah berada di kawasan kampus. Dada masih
berdegup kencang. Dan, satu yang terlintas dalam benakku. Ibuku yang ada di Indonesia.
langsung kuambil handphone, kukurim sms ke ibu, dibalasnya dengan penuh
optimis. Walhasil, sewaktu dosen menanya, serasa ada kekuatan sendiri yang
menggerakkan lidah ini untuk menjawab dengan lancar semua pertanyaan yang
diajukan dosen. Alhamdulillahi rabbil alamin.
Pernah satu kali baginda nabi
Muhammad saw ditanya tentang siapa orang yang paling harus mendapat perlakuan
baik. Lalu dia menjawab “ibumu”. Kemudian siapa lagi, jawab beliau “ibumu”.
Kemudian siapa lagi, jawab beliau “ibumu”. Setelah itu barulah beliau menjawab
“bapakmu.
Dari sini diketahui, dalam linkup
berbuat baik pada kedua orang tua, antara ibu dengan bapak adalah tiga banding
satu. Artinya bahwa kedudukan ibu lebih mendapat perioritas untuk lebih
dihormati dan disayangi. Sampai-sampai kemuliaan seorang ibu menjadi kiasan di bawah
telapak kakinya surga itu ada.
Ibu yang mengandung sembilan bulan
sepuluh hari. Dalam keadaan lemah bersangatan. Kemudian setelah melahirkan
mengasuh, mengayomi dan lain sebagainya. Ibu jugalah kawan bermain paling dekat
bagi seorang anak. Maka wajar, ikatan emosional dan jiwa antara ibu dan anak
itu diibaratkan satu kesatuan rasa. Tidak jarang sang ibu mampu merasakan apa
yang terjadi pada si anak. Maka, orang sering bilang, jangan melawan sama ibu,
karena setiap kata-kata yang terlontar darinya adalah doa.
Kemuliaan ibu, adalah keberkahan
hidup seseorang. Di sanalah kuncinya. Mungkin inilah diantara berkah hidup yang
pernah saya lihat dalam keluarga kami. Bapak saya misalnya, adalah tipe figur
laki-laki ideal pertama yang pernah ada. Ia pekerja yang ulet, sayang sama
isteri dan anak-anaknya. Juga peduli sama adik-adiknya. Setiap, penghasilannya
selalu disisihkan untuk ibu dan adik-adiknya.
Dulu ,kebiasaan bapak mengantar
sebagian gajinya ke tempat nenek, awalnya sempat membuat diriku bertanya-tanya.
Mungkin waktu itu aku juga masih kecil, kisaran usia sepuluh tahun, jadi
mungkin masih belum paham. Terkadang sering ku lihat mamah komplain, kenapa
bapak sering ke tempat nenek kalau masa gajian. Dan menyisihkan sebagian
gajinya untuk keperluan hidup nenek juga adiknya yang tinggal serumah.
Tapi, di
situlah keberkahan terus mengalir. Hingga satu ketika, mamah baru faham setelah
mendengar ustad yang menjelaskan bagaimana seorang anak harus berbakti kepada
orang tuanya, meskipun ia telah berkeluarga dan menjadi kepala rumah tangga.
Satu, yang masih teringat dipikiran saya, ketika mamah meceritakan kembali apa
yang didapatnya dari ustad tersebut. Karena bakti seorang anak kepada ibu angan
mengantarkan dia menuju kesuksesan hidup. Sebab doa ibu akan selalu menyertai
setiap langkahnya. Dan ini terbukti, alhamdulillah dari sekian famili yang ada
keluarga kami, bapak lah satu-satunya anggota keluarga yang lumayan bisa
tersenyum menjalani hidup, ketimbang saudara-saudaranya yang lain.
Doa orang tua, terkhusus ibu adalah
doa yang paling mujarab. Maka dari itu, salah satu kesuksesan seseorang
bergantung pada seberapa ridha ibunya terhadap dirinya. Sampai-sampai dalam
legenda, ada yang menceritakan saking kesalnya seorang ibu, si anak bisa
dikutuk jadi batu seperti kisah malingkundang. Kalaulah saja, rasul mengatakan
ridha Allah bergantung pada keridhaan kedua orang tua, itu artinya berhasil
atau tidak hidup di dunia ini, adalah ibu juga punya andil cukup besar di
dalamnya.
Betapa bahagia seorang ibu, melihat
anaknya berhasil. Apalagi, rasa bakti seorang anak yang begitu besar tercurah
untuk sang ibu. Sehingga, tanpa harus diminta untuk mendoakan, setiap langkah
perjalanan si anak akan selalu diiringi doanya.
Rabbighfirli
waliwalidayya warham huma kama rabbayani
shagira
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

